Punya Mimpi Segudang???disini tempatnya

Photobucket

kerja sambil kuliah?????klik disini!!!!!!!!!

Photobucket

Senin, 21 Maret 2011

norma, nilai dan budaya kampung Pulo Garut


BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
            Kampung pulo merupakan suatu perkampungan yang terdapat di dalam pulau di tengah kawasan Situ Cangkuang. Kampung Pulo ini sendiri terletak di Desa Cangkuang, Kampung Cijakar, kecamatan Leles, Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat.Di Kampung Pulo ini terdapat  fenomena akulturasi budaya yang unik. Masyarakat muslim setempat masih melaksanakan tradisi Hindu yang diwariskan secara turun temurun, berabad­-abad. Dengan nilai, norma dan budaya yang unik itu kita dapat mempelajari hal-hal positif apa yang bisa kita ambil dan kita rasionalkan dalam kehidupan sehari-hari.

1.2  Rumusan Masalah
Beberapa hal yang menjadi pokok permasalahan dalam pembahasan makalah ini adalah:
1. Dimana Letak Geografis dan Demografi Kampung Pulo?
2. Bagaimana Sejarah kampung Pulo?
3. Bagaimana Nilai,Norma dan Budaya serta keadaan kampung Pulo ?    

1.3       Maksud dan Tujuan
Sesuai dengan masalah yang dirumuskan diatas maksud dan tujuan inipun dirumuskan guna memperoleh suatu deskripsi tentang
1. Letak Geografis dan Demografi Kampung Pulo
2. Sejarah kampung Pulo
3. Nilai,Norma dan Budaya

1.4       Manfaat
            Dalam penyusunan makalah  ini, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Adapun manfaat penyusunan itu diantaranya :
1.    Berfungsi sebagai literatur-literatur bagi pelajar yang ingin memperdalam wawasan tentang ragam nilai, norma serta budaya
2.    Para pembaca dapat mengetahui lebih dalam tentang keadaan kampung Pulo

1.5       Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penyusunan laporan hasil penelitian, maka penulis akan membuat susunan Karya tulis sebagaimana sistematika di bawah ini:

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
            1.1       Latar Belakang
            1.2       Rumusan Masalah
            1.3       Maksud dan Tujuan
            1.4       Manfaat
            1.5       Sistematika Penulisan

BAB II ISI
            2.1       Letak Geografis dan demografi
            2.2.      Sejarah
            2.3.      Nilai, Norma, dan budaya

BAB III PENUTUP
            3.1.      Kesimpulan
            3.2.      Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB II
ISI
Letak Geografis dan Demografi
Kampung pulo merupakan suatu perkampungan yang terdapat di dalam pulau di tengah kawasan Situ Cangkuang. Kampung Pulo ini sendiri terletak di Desa Cangkuang, Kampung Cijakar, kecamatan Leles, Kabupaten Garut Propinsi Jawa Barat.
Adapun batas administrasi dari Kampung Pulo adalah sebagai berikut:
Utara       :   desa Neglasari kecamatan Kadungora
Selatan   :   desa Margaluyu dan desa Sukarame kecamatan Leles
Timur  : desa Karang Anyar dan desa Tambak Sari kecamatan                   Leuwigoong
Barat  : desa Talagasari kecamatan Kadungora dan desa Leles Kecamatan Leles
Kampung Pulo ini terletak diantara kota Bandung dan Garut yang berjarak 2 km dari kecamatan Leles dan 17 km dari Garut atau 46 km dari Bandung. Kondisi lingkungan di Kawasan ini memiliki kualitas lingkungan yang baik, kebersihan yang cukup terjaga dan juga bentang alam yang baik. Tingkat Visabilitas di kawasan ini digolongkan cukup bebas dengan tingkat kebisingan yang rendah. Didesa tersebut terdapat sebuah candi Hindu yang telah dipugar yang dinamakan candi Cangkuang,.
Sumber daya listrik untuk keperluan penerangan dikawasan ini berasal dari PLN yang alirannya diambil secara tidak langsung melalui salah satu rumah penduduk di kampong Cangkuang. Sumber air bersih dikawasan ini beraal dari sumur dan air danau dengan kualitas air yang jernih, rasa yang tawar dan bau air yang normal. Berhubung karena tidak boleh adanya bangunan lain yang dibangun di kampung pulo maka di kampong Pulo tersebut tidak terdapat fasilitas Wisata Lainnya.
Hingga saat ini (Mei 2009 jumlah penduduk Kampung Pulo mencapai 22 orang. Sebelas laki-laki dan perempuan. Mereka bermatapencaharian petani dan pencari ikan. Setelah Kampung Pulo menjadi objek wisata, 95% perempuan penduduk Kampung Pulo menjadi pedagang. Tidak terdapat lapisan-lapisan masyarakat dalam struktur sosial di Kampung Pulo. Hanya saja, ada satu orang yang dipercaya penduduknya untuk menjadi kuncen atau juru kunci. Tugas juru kunci adalah menyambung lidah para peziarah dan roh-roh keramat. Pak Atang adalah kuncen Kampung Pulo saat ini.
           

Sejarah
Menurut cerita rakyat, Konon penduduk Cangkuang masih memeluk kepercayaan animisme dan dinamisme. Sebagian lainnya beragama Hindu, lalu Arif  Muhammad singgah di daerah ini. Arif Muhammad adalah panglima perang dari kerajaan Mataram. Ia diutus Sultan Agung untuk mengusir VOC di Batavia pada 1645. Kemudian Arif Muhammad berangkat menuju Batavia untuk menyerang VOC. Sayangnya, Arif Muhammad beserta pasukannya berhasil ditekuk mundur. Karena kekalahan ini Arif Muhammad tidak mau kembali ke Mataram karena malu dan takut pada Sultan agung. Beliau mulai menyebarkan agama Islam pada masyarakat kampung Pulo. Arif Muhammad beserta kawan-kawannya menetap di daerah Cangkuang yaitu Kampung Pulo. Sampai beliau wafat dan dimakamkan di kampumg Pulo. Beliau meninggalkan 6 orang anak Wanita dan satu orang pria. Oleh karena itu, dikampung pulo terdapat 6 buah rumah adat yang berjejer saling berhadapan masing- masing 3 buah rumah dikiri dan dikanan ditambah dengan sebuah mesjid. Jumlah dari rumah tersebut tidak boleh ditambah atau dikurangi serta yang berdiam di rumah tersebut tidak boleh lebih dari 6 kepala keluarga. Jika seorang anak sudah dewasa kemudian menikah maka paling lambat 2 minggu setelah itu harus meninggalkan rumah dan harus keluar dari lingkungan keenam rumah tersebut. Walaupun 100 % masyarakat kampong Pulo beragama Islam tetapi mereka juga tetap melaksanakan sebagian upacara ritual hindhu.

Keterangan Denah Komplek Rumah Adat Kampung Pulo :
1.     Rumah Kuncen
2.     Rumah Adat
3.     Rumah Adat
4.     Rumah Adat
5.     Rumah Adat
6.     Rumah Adat
7.     Mesjid Kampung Pulo

Nilai, Norma Dan Budaya

Masyarakat Kampung Pulo tidak diikat oleh hukum tertulis. Mereka hanya mengenal pamali sebagai istilah melanggar pantangan. Pantangan di Kampung Pulo harus dipatuhi penduduk itu sendiri maupun para wisatawan yang datang. Atau bisa diartikan bahwa hal tersebut termasuk nilai, norma, dan budaya yang mereka anut yang diantaranya adalah:

 a.        Dalam berjiarah kemakam-makam harus mematuhi beberapa syarat yaitu berupa bara api, kemenyan, minyak wangi, bunga-bungaan dan serutu khususnya makam Embah Dalem Arif Muhammad. Menurut kepercayaan setempat, hal itu untuk mendekatkan diri (pejiarah) kepada roh-roh leluhur karena benda-benda tersebut merupakan kegemaran mereka semasa hidup.

b.         Dilarang berjiarah pada hari rabu, bahkan dulu penduduk sekitar tidak diperkennankan bekerja berat,begitu pula Embah Dalem Arif Muhammad tidak mau menerima tamu karena hari tersebut digunakan unutk mengajarkan agama. Karena menurut kepercayaan bila masyarakat melanggarnya maka timbul mala petaka bagi masyarakat tersebut.

c.         Bentuk atap rumah selamanya harus mamanjang (jolopong) . Tidak boleh membuat rumah beratap jure. Atap rumah harus tetap dibiarkan memanjang.

d.         Tidak boleh memukul Goong besar
*   Dua larangan ini (poin c dan d) konon terkait sebuah peristiwa di masa lalu. Ketika embah dalem arif muhammad akan mengkhitan anak laki-laki, sebelumnya diadakan pesta yakni dengan menandu anak yang akan dikhitan dengan jampana atau tandu/rumah-rumahan beratap jure. Sebagai hiburannya, ditabuhlah gong besar. Ketika pesta itu berlangsung, tiba-tiba bertiup angin topan dengan kencangnya, menghantam tandu pengantin sunat hingga terbang dan terjatuh. Anak itu pun meninggal.

e.         Khusus di kampong pulo tidak boleh memelihara ternak besar berkaki empat seperti kambing, kerbau, sapi dan lain-lain. , terdapat dua dugaan. Pertama, karena binatang ternak dikhawatirkan mengotori lingkungan setempat dan makam-makam keramat dan  didasarkan atas pertimbangan untuk melestarikan tanaman di Kampung Pulo dan menghindari agar kampung itu tidak dikotori oleh kotoran ternak. Kedua, pada awalnya masyarakat masih memeluk agama Hindu. Sedangkan pemeluk Hindu memuja sapi. Dikhawatirkan pula, masyarakat sulit melepas kepercayaan itu.

f.             Setiap tanggal 14 bulan Maullud mereka malaksanakan upacara adat memandikan benda-benda pusaka seperti keris, batu aji, peluru dari batu yang dianggap bermakna dan mendapat berkah.

g.            Jumlah dari rumah kampung pulo tidak boleh ditambah atau dikurangi serta yang berdiam di rumah tersebut tidak boleh lebih dari 6 kepala keluarga.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya terdapat 6 rumah panggung dan 1 mushola ,posisi rumah panggung yang berukuran sama itu pun cukup unik. Tiga rumah dibangun berderet di sebelah utara menghadap selatan, tiga lainnya di sebelah selatan menghadap utara sehingga tampak sebagai tiga pasang rumah yang saling berhadapan. Di depan rumah terdapat halaman yang cukup luas, sedangkan musala dibangun di ujung sebelah barat.
Saat ini, ada enam kepala keluarga yang mendiami keenam rumah tersebut. Keenam rumah itu memiliki ukuran dan pembagian ruangan yang sama, yakni terdiri atas serambi muka (tepas), satu ruang tamu berukuran, satu kamar tidur, dan satu kamar tamu, dapur, dan gudang (goah). Dari enam rumah itu, hanya satu rumah yang masih beratap ijuk, sedangkan lima lainnya menggunakan atap genting meski tanpa kaca.
Konon, jumlah bangunan di Kampung Pulo tak pernah bertambah atau berkurang. hal itu terkait aturan yang ditetapkan oleh Arif Muhammad. Ketika Arif Muhammad meninggal dunia, ia meninggalkan tujuh orang anak, masing-masing enam orang perempuan dan seorang laki-laki. Berdasarkan aturan yang ditetapkan kala itu, setiap anak perempuan harus tinggal dan menguasai rumah, sedangkan anak laki-laki dan sudah menikah, paling lambat dua minggu setelah menikah, ia harus pergi keluar dari Kampung Pulo. Apabila kepala keluarga meninggal, maka hak waris jatuh pada perempuan. Hal ini dikarenakan, sistem kekeluargaan penduduk Kampung Pulo bersifat matrilineal
Jika salah satu keluarga tidak memiliki anak perempuan, rumah itu diwariskan kepada saudara perempuannya yang telah menikah. "Tapi, bukan berarti setelah keluar dari Kampung Pulo anak laki-laki tidak boleh kembali ke sini. Biasanya setahun sekali, khususnya Lebaran, mereka warga kampung Pulo yang di menetap di luar kampung Pulo  pulang dan berkumpul di kampung Pulo.


BAB III
PENUTUP

3.1.        Kesimpulan

            Apa yang terjadi di Kampung Pulo , menjadi sebuah fenomena akulturasi budaya yang unik. Masyarakat muslim setempat masih melaksanakan tradisi Hindu yang diwariskan secara turun temurun, berabad­-abad. Pernah dicoba untuk menghilangkannya namun justru bencana yang datang.
Sebagai salah satu kawasan wisata, tentu saja, warga Kampung Pulo yang menempati enam rumah adat dalam sebuah komunitas terbatas itu sangat terbuka terhadap masuknya orang-orang dari luar kawasan itu. Sebagai tuan rumah, penghuni enam rumah itu tentu saja harus rela dan dengan tangan terbuka menerima siapa pun yang berkunjung ke sana.
Dari situlah terjadi proses dialog sosial secara terbuka, yang disadari atau tidak, menciptakan hubungan saling memberi. Di satu sisi, melalui dialog sosial tadi, pengunjung mendapatkan banyak informasi seputar kehidupan warga di Kampung Pulo. Di sisi lain, sebagai tuan rumah, warga Kampung Pulo menyerap berbagai nilai yang masuk ke lingkungan mereka. Pada gilirannya, seiring dengan waktu, akan memengaruhi keyakinan mereka dalam memaknai pesan-pesan moral dan ajaran bijak yang diwariskan oleh para leluhur mereka.

3.2 Saran
Masyarakat kampung Pulo  memang berusaha mempertahankan adat istiadat yang diwariskan oleh leluhur mereka. Meski demikian, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, selain bekerja sebagai petani atau berdagang, sebagian penghuni Kampung Pulo juga bekerja di luar daerah. Anak-anak juga bersekolah di luar Kampung Pulo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar